Uskup Agung Oscar Romero |
“Kendati
jelas bahwa gereja kita telah menjadi korban penganiayaan dalam tiga tahun
terakhir, yang lebih penting adalah mencermati sebab dari penganiayaan itu …
Penganiayaan terjadi karena Gereja membela kaum miskin, karena Gereja memikul
nasib kaum miskin.”
“Sebuah
gereja yang tidak menanggung penganiayaan tetapi menikmati hak-hak istimewa dan
sokongan keduniawian – sadarlah! – itu bukan Gereja Yesus Kristus. Suatu
khotbah yang tidak menunjukkan dosa bukanlah khotbah yang mewartakan Injil.
Sebuah khotbah yang membuat orang-orang berdosa merasa baik-baik saja, sehingga
mereka merasa nyaman dalam kondisi mereka yang berdosa, mengkhianati panggilan
Injil.”
“Ketika
Gereja mendengarkan jeritan kaum tertindas, tak bisa lain ia menggugat
struktur-struktur sosial yang menyebabkan dan melanggengkan kesengsaraan yang
dari dalamnya jeritan itu datang” (Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero, 11 Maret
1979).
Pada
malam Senin, 24 Maret 1980, Uskup Agung San Salvador, Oscar Arnulfo Romero,
ditembak persis di jantungnya ketika sedang merayakan Misa untuk mengenang ibu
seorang sahabat. Ia meninggal dunia beberapa menit kemudian. Pada 23 Maret
1980, sehari sebelum kematiannya, dengan lugas ia menyampaikan pesannya kepada
para prajurit negeri itu dalam khotbah mingguannya. Ia berseru:
“Demi
Allah, demi rakyat yang menderita ini, yang jeritan-jeritannya ke langit
semakin keras dari hari ke hari, saya memohon dengan sangat kepadamu, saya
meminta kepadamu, saya memerintahkanmu: Hentikan penindasan!”
Massa
rakyat bereaksi marah terhadap pembunuhan itu. Dalam upacara pemakaman sang
uskup agung, sebuah bom meledak di luar Katedral San Salvador. Pasukan
pemerintah melepaskan tembakan kepada orang banyak, 50 ribu orang, yang
berhimpun di sana untuk memberikan penghormatan terakhir. Diperkirakan 40 orang
tewas dan 200 orang lainnya luka-luka.
Satu
hari setelah pembunuhan Romero, Kuba dituduh terlibat langsung dalam pembunuhan
itu. Tapi tidak masuk akal menuduh Kuba terlibat dalam pembunuhan sang uskup
agung. Setiap orang tahu siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut.
Pembunuhan itu merupakan pekerjaan kaum reaksioner sayap kanan yang tidak lama
kemudian (1981) mendirikan Partai ARENA. Roberto D'Aubuisson, pendiri partai
itu, sebelumnya telah mendirikan dan memimpin pasukan-pasukan pembunuh yang
terkenal kejam di El Salvador. Orang inilah yang telah memerintahkan pembunuhan
Romero.
Laporan
tentang El Salvador, yang diterbitkan pada 1993 oleh Komisi Kebenaran,
menyatakan dengan sangat jelas:
“Ada
bukti yang jelas bahwa eks mayor Roberto D'Aubuisson telah memberikan perintah
untuk membunuh Uskup Agung dan telah memberikan instruksi-instruksi yang jelas
kepada anggota-anggota pasukan keamanannya, yang bertindak sebagai pasukan
pembunuh, untuk mengorganisir dan mengawasi pembunuhan itu.”
Uskup
Agung Romero populer luar biasa. Ia seorang kritikus yang jujur terhadap pihak
militer, yang memerintah bangsa Amerika Tengah dengan gada besi. Romero dikenal
karena gugatan-gugatan publiknya yang berani. Ia menggugat
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan pihak militer pada tahun-tahun yang rawan
menjelang perang sipil El Salvador yang sangat pahit itu. Romero sangat
dihormati oleh massa rakyat kaum buruh dan tani di El Salvador dan di seluruh
Amerika Tengah. Dalam peringatan 30 tahun (23 Maret 2010) pembunuhan politik
yang brutal itu, rakyat El Salvador turun ke jalan-jalan untuk mengenang
laki-laki pemberani ini.
Pembunuhan
terhadap Mgr (Monseñor) Romero terjadi dalam konteks situasi revolusioner.
Dekade 1970-an adalah periode mobilisasi-mobilisasi massa. Kaum buruh dan tani
El Salvador berjuang demi kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, Partai Komunis
El Salvador (PCS) tidak memberikan pimpinan yang dibutuhkan. Bukannya
menempatkan diri di depan massa rakyat dengan mendasarkan diri pada program revolusi
proletarian, para pemimpin Partai Komunis malah berupaya memenangkan “burjuasi
progresif”, bahkan tentara. Kebijakan yang keliru ini membuat banyak kaum muda
revolusioner memilih untuk bergabung dengan organisasi-organisasi gerilya.
Ribuan
orang bergabung dengan organisasi-organisasi massa sayap Kiri seperti BPR,
FAPU, LP-28, UDN y MLN, yang dipimpin oleh organisasi-organisasi gerilya yang
mengkhotbahkan perjuangan bersenjata. Reaksi dari segmen masyarakat yang paling
revolusioner ini sepenuhnya bisa kita mengerti. Kekerasan kontra-revolusioner
telah melanda El Salvador selama berbulan-bulan. Kaum buruh, tani,
anggota-anggota serikat buruh, dan imam-imam terus ditangkapi, disiksa,
dibunuh, atau hilang begitu saja. Romero sendiri telah menulis surat kepada
Presiden Carter. Ia minta agar presiden AS itu tidak lagi memasok bantuan
militer kepada junta yang berkuasa sampai junta berhasil menghentikan kekerasan
tersebut. Dengan mudah bisa kita duga: permohonan ini tidak didengarkan oleh
telinga-telinga yang tuli!
Teologi Pembebasan
Waktu
itu, bahkan sampai sekarang, El Salvador bergantung pada AS. Seperti kebanyakan
negeri Amerika Tengah lainnya, El Salvador terbelakang. Perekonomian utamanya
pertanian, dengan hubungan-hubungan produksi yang bercorak semi-feodal.
Tanah-tanah dikuasai oleh segelintir kaum kaya-raya pemilik tanah besar (para
latifundist). Para pemilik tanah besar dan kaum kapitalis membentuk sebuah blok
reaksioner: oligarki. Mereka telah mendominasi kehidupan ekonomi dan politik
negeri itu dari generasi ke generasi.
Oligarki
mempertahankan kekuasaan mereka melalui teror yang terorganisir: teror negara.
Atmosfer ketegangan dan kekerasan kian menguat pada dekade 1970-an, yang
akhirnya pecah menjadi perang sipil. Secara tak terelakkan, proses fermentasi
dalam masyarakat menemukan cerminannya di kalangan hierarki yang lebih rendah
dalam Gereja Katolik, yakni di antara para imam yang bekerja dan berhubungan
dengan kaum miskin-tertindas. Dari proses ini muncullah gerakan yang kemudian
dikenal sebagai Teologi Pembebasan.
Sebenarnya,
dari kariernya yang mula-mula di Gereja Katolik, sama sekali tak terbayangkan
bahwa Romero akan mati sebagai martir bagi kaum miskin. Ia memulai kariernya
sebagai seorang konservatif dan mendukung organisasi sayap kanan Katolik, Opus
Dei. Tapi, sebagaimana ditandaskan Lenin, sejarah mengenal segala jenis
transformasi. Orang bisa berubah dan melakukan perubahan. Akan sangat buruk
jadinya bila mereka tidak bisa berubah dan tidak melakukan perubahan!
Camillo
Torres, seorang imam Kolombia yang mengangkat senjata dan akhirnya gugur,
pernah menyatakan:
“Saya
telah meninggalkan kebiasaan imam supaya menjadi seorang imam yang sejati.
Kewajiban setiap orang Katolik adalah menjadi seorang revolusioner; kewajiban
setiap revolusioner adalah melaksanakan revolusi. Orang Katolik yang bukan
seorang revolusioner sedang hidup dalam dosa yang mendatangkan maut.”
Orang-orang
seperti ini adalah penerus-penerus yang berharga dari kaum revolusioner Gereja
Perdana yang berdiri tegak di pihak kaum miskin di muka bumi ini, para pendosa,
dan kaum tertindas, serta tidak takut memberikan nyawa mereka dalam perjuangan
melawan penindasan. Mereka adalah kaum martir modern. Kenangan atas mereka
harus terus dipelihara dengan penuh rasa hormat oleh semua orang yang
benar-benar menghargai prinsip kebebasan dan keadilan.
Dalam
kurun waktu 1968-1978, lebih dari 850 imam, suster, dan uskup ditahan, disiksa,
dibunuh, dan terbunuh di Amerika Latin. Seorang Jesuit El Salvador, Rutilio
Grande, sebelum dibunuh, berseru:
“Pada
saat ini, adalah berbahaya [...] dan secara praktis ilegal untuk menjadi
seorang Kristen yang otentik di Amerika Latin.”
Perhatikan
kata "otentik"!
Pada
1968, para uskup Katolik Amerika Latin berhimpun di Medellin, Kolombia. Mereka
berkata-kata tentang “dosa yang dilembagakan”, yang mendera dan menindas
mayoritas umat atau rakyat di Amerika Latin. Mereka memanggil seluruh Gereja
untuk mendukung kaum miskin. Mula-mula Romero tidak ingin berbuat apa-apa untuk
menindaklanjuti seruan ini. Faktanya, dalam perjalanan kariernya yang mula-mula
ia adalah seorang menganut politik konservatif. Ia menentang proyek-proyek
pastoral berbasis komunitas (PJ: komunitas basis) yang dirasanya terlalu
politis; ia mengambil posisi untuk mempertahankan status quo.
Pada
Februari 1977 Romero ditahbiskan sebagai uskup agung. Ia mengepalai Keuskupan
Agung San Salvador. Para imam menentang pengangkatannya. Tapi, di lain pihak,
kaum sayap kanan dan oligarki menyambutnya dengan antusias. Mereka memandang
Romero sebagai orang yang dibutuhkan untuk memurnikan Gereja dari “kaum
Komunis.” Secara spesifik ia terpilih karena pandangan-pandangannya yang konservatif.
Romero dipercaya oleh para pemimpin tentara dan oligarki. Secara terbuka ia
telah mengkritik posisi-posisi progresif yang diambil oleh para penganut
Teologi Pembebasan, yang kala itu sedang menjadi sebuah kekuatan yang terus
tumbuh dan berkembang.
Gelombang
agitasi melanda negeri itu pada 1977. Terjadi pemogokan-pemogokan dan
demonstrasi-demonstrasi. Kaum tani menduduki perkebunan-perkebunan para tuan
tanah. Pada 28 Februari, hanya beberapa
hari setelah penahbisan Romero, sebuah protes besar terhadap kecurangan
pemilihan umum berakhir dengan pertumpahan darah. Kerumunan massa diserang oleh
para prajurit di alun-alun ibukota. Romero tidak mengintervensi. Memprotes pun
tidak.
Pada
12 Maret 1977, terjadilah peristiwa yang menjadi titik balik bagi Romero.
Seorang imam Jesuit yang radikal, Rutilio Grande, dibunuh bersama dengan
seorang bocah laki-laki dan seorang pria tua berumur 72 tahun. Romo Rutilio
adalah seorang imam berlatar belakang tani yang sederhana. Ia telah menjadi
seorang pendukung yang teguh Garis Medellin. Romero mengenalnya secara pribadi,
dan sangat menghormatinya. Romero mempertanyakan mengapa tidak ada penyelidikan
resmi terhadap kematian ketiga orang itu. Ia menulis surat kepada presiden,
yang memperlihatkan suatu kenaifan yang mengharukan:
“Menyadari
persahabatan yang telah Anda perlihatkan kepada saya, kemampuan dan
sentimen-sentimen pribadi Anda yang mulia, saya tidak ragu bahwa Anda akan
memenuhi tuntutan-tuntutan yang adil dari umat Katolik yang terhormat, dan pada
saat yang sama menyelamatkan prestise Anda dari bayangan kejahatan apapun.”
Wajar
saja bila ia tidak ditanggapi. Sejak saat itu dan seterusnya, Romero terus
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mempermalukan kaum elit kaya-raya yang
telah mendukungnya menjadi uskup agung. Orang-orang ini ada di balik kekerasan
yang mempertahankan posisi-posisi mereka, atau setidaknya menutup mata terhadap
kekerasan tersebut.
Pada 1
Juli 1977, Carlos Romero mengambil alih pemerintahan. Ia adalah menteri
angkatan bersenjata semasa pemerintahan Molina. Barangkali ia sendiri
bertanggung jawab atas pembunuhan Romo Rutilio Grande. Gelombang pemogokan dan
pendudukan berlanjut dan tumbuh semakin kuat. Upaya-upaya represif pemerintah
yang bertujuan menghancurkan gerakan hanya memperbesar atmosfer militansi. Kaum
buruh dan tani sering menduduki gereja-gereja untuk menghindari kejaran polisi.
Pada Paskah 1978, BRP menduduki Katedral. Mgr Romero minta pihak yang berwenang
untuk tidak melakukan intervensi. Mgr Romero menyatakan bahwa ia tidak setuju
dengan aksi pendudukan tersebut. Tapi toh ia menandaskan bahwa pemerintah tidak
memberikan alternatif bagi kaum buruh dan tani.
Dari
mimbar, tanpa lelah Romero berbicara menentang pelanggaran-pelanggaran HAM dan
represi yang dilakukan para prajurit dan pasukan-pasukan pembunuh. Dengan keras
ia mengkritik kaum sayap kanan. Dengan tekun ia mempromosikan karya pastoral di
komunitas-komunitas pedesaan dan pemukiman-pemukiman kumuh. “Kekuasaan politik
ada di tangan angkatan bersenjata,” kata Romero dalam sebuah khotbah yang
disampaikannya sebulan sebelum kematiannya. “Mereka menggunakan kekuasaan
mereka tanpa pertimbangan moral sama sekali. Mereka hanya tahu bagaimana
merepresi rakyat dan membela kepentingan-kepentingan oligarki Salvador.”
Romero
menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara. Sebagai uskup agung, ia adalah
satu-satunya suara yang tidak disensor di San Salvador. Stasiun radio kecil
keuskupan agung menyiarkan nama-nama orang yang hilang. Seorang pria diciduk,
dan tak pernah terdengar lagi. Keluarganya minta pertolongan seorang imam untuk
menemukannya. Perhatian sang uskup agung tertuju pada kasus-kasus seperti itu.
Ia menuntut jawaban. Ia mulai menyusahkan pihak berwenang, dengan
mempertanyakan: Mengapa orang-orang ditangkapi? Di mana mereka sekarang? Apa
yang terjadi dengan mereka?
Pada
Mei 1979, Mgr Romero menyerahkan kepada Paus tujuh kumpulan dokumen yang berisi
laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang memaparkan pembunuhan-pembunuhan,
penghilangan-penghilangan, dan pelanggaran-pelanggaran HAM di El Salvador. Pada
saat yang sama, proses revolusioner dalam masyarakat terus berkembang. Hal ini
semakin meradikalisasi sang uskup agung. Pada Januari 1980,
organisasi-organisasi massa yang berbeda, yakni organisasi-organisasi buruh,
tani, mahasiswa, dsb., membentuk Coordinadora Revolucionaria de Masas (Komite
Koordinasi Revolusioner Massa). Mereka menyerukan diadakannya demonstrasi pada
22 Januari, pada hari ulang tahun Perlawanan Revolusioner 1932. Inilah
demonstrasi terbesar yang pernah ada dalam sejarah El Salvador: 300 ribu orang
berpartisipasi. Tapi sudah bisa kita duga: para demonstran dihadapi dengan
represi yang kejam. Ini diikuti oleh serangkaian pemogokan umum.
Romero
mengutuk keras represi itu. Ia berbicara tentang “hak yang sah untuk melakukan
Perlawanan dengan kekerasan” di pihak massa rakyat. Dalam sebuah wawancara yang
diberikan pada 2 Februari ia berkata:
“Orang
Kristen tidak takut untuk berjuang. Mereka tahu bagaimana harus bertempur. Tapi
mereka memilih untuk berbicara dengan bahasa perdamaian. Namun, ketika sebuah
kediktatoran secara serius menggangsir HAM dan kesejahteraan umum bangsa,
ketika ia (kediktatoran, PJ) sudah tidak bisa ditanggung lagi dan semua saluran
dialog tertutup … ketika semuanya ini terjadi, maka Gereja berbicara tentang
hak yang sah untuk melakukan Perlawanan dengan kekerasan. Untuk memastikan
tanggal Perlawanan, untuk menentukan kapan semua saluran dialog telah tertutup,
ini bukan tugas Gereja. Tapi saya memperingatkan oligarki: bukalah tanganmu,
lepaskanlah cincin-cincinmu, karena waktunya akan datang ketika tangan-tanganmu
akan terpotong.”
Analisisnya
tentang situasi ekonomi dan politik di El Salvador juga semakin tajam, semakin
jelas, dan dengan demikian semakin revolusioner. Patut kita kutip agak panjang
wawancaranya dengan Prensa Latina pada 15 Februari:
“Penyebab
dari segala keresahan kita adalah oligarki. Nukleus keluarga-keluarga yang
kecil ini tidak peduli terhadap rakyat yang menjadi kelaparan. Sebaliknya,
mereka bersandar pada pasokan yang berlimpah-limpah dari buruh murah untuk
memanen tanaman mereka dan mengekspornya. Perusahaan-perusahaan industrial,
nasional dan asing, mendasarkan kompetisi mereka di pasar dunia pada upah
kelaparan. Ini menjelaskan mengapa dengan kepala batu mereka menentang reforma
apapun dan organisasi-organisasi serikat buruh yang berupaya memperbaiki
kondisi-kondisi rakyat. Oligarki ini tidak mengizinkan kaum buruh dan tani
untuk mengorganisir diri di dalam serikat-serikat buruh. Sebab mereka
menganggapnya sebagai ancaman terhadap kepentingan-kepentingan ekonomi mereka.
Bagi segelintir keluarga ini, represi terhadap rakyat diperlukan untuk
mempertahankan dan memperbesar profit mereka, bahkan bila itu dilakukan dengan
akibat meningkatnya kemiskinan kelas-kelas pekerja.
Namun,
konsentrasi kekayaan dan properti juga berarti karakter otoriter dari kekuasaan
sosial, ekonomi, dan politik. Tanpa itu semua mustahil untuk mempertahankan
privilese-privilese mereka, bahkan dengan mengorbankan martabat manusia. Di
negeri kita, inilah akar dari kekerasan yang represif, dan dalam instansi terakhir,
merupakan penyebab utama dari keterbelakangan sosial, politik, dan ekonomi
kita.
Angkatan
Bersenjata diberi tanggung jawab menjamin kepentingan-kepentingan oligarki dan
mempertahankan struktur politik dan ekonomi dengan dalih bahwa ini adalah dalam
rangka keamanan nasional. Semua yang tidak setuju dengan negara dinyatakan
sebagai musuh-musuh bangsa, dan dengan alasan keamanan nasional,
kejahatan-kejahatan yang paling keji dibenarkan. Semuanya dilakukan untuk
mempertahankan kepentingan-kepentingan oligarki, suatu oligarki yang
kuat-kuasa, yang sama sekali melecehkan rakyat dan hak-haknya.”
Sungguh
keterlaluan Romero. Begitu penilaian para politisi sayap kanan dan oligarki
yang mereka wakili. Mereka semua menjadi sangat marah atas campur tangan sang
uskup agung yang yang terus-menerus. Yang lebih menjengkelkan, campur tangan
itu datang dari orang yang telah mereka percaya! Sekarang mereka melihat Romero
sebagai seorang pengkhianat dan subversif berbahaya. Mereka perlu membungkam
suara yang meresahkan ini. Dalam kenyataannya, mereka memang membungkamnya!
Para Pembunuh Tidak Dihukum
Para
pembunuh Romero tidak pernah ditangkap apalagi dihukum. Tapi ini hanya satu
kasus. Ada puluhan ribu kasus lainnya, yang terdokumentasi dengan baik. Selama
lebih dari satu dekade, tentara, pasukan keamanan, dan pasukan pembunuh
terlibat dalam pembantaian-pembantaian, kadang-kadang ratusan orang dalam satu
kesempatan. Di sepanjang tahun-tahun konflik bersenjata melawan pasukan-pasukan
gerilya Farabundo Martí National Liberation Front (FMLN), pasukan-pasukan
keamanan Salvador dan pasukan-pasukan paramiliter pembunuh bertanggung jawab
atas pembantaian-pembantaian, pembunuhan-pembunuhan, penyiksaan-penyiksaan, dan
penghilangan-penghilangan dalam skala yang masif.
Peperangan
menewaskan 75 ribu orang, 7000 lainnya “hilang.” Diperkirakan satu juta orang
El Salvador meluputkan diri dari kekerasan dengan menjadi pengungsi di
negeri-negeri lain. Di antara mereka yang dibunuh oleh tentara dan
pasukan-pasukan pembunuh adalah 18 orang imam dan 5 orang suster, 4 orang di
antaranya berasal dari Amerika Serikat.
Komisi
Kebenaran PBB menerbitkan laporan yang memberikan pemaparan rinci, yang
didasarkan pada kesaksian dan investigasi yang luas, tentang tanggung jawab
atas beberapa pelanggaran HAM yang paling buruk dan paling luas di El Salvador
dalam kurun waktu 1980- Juli 1991. Dokumen itu memperjelas banyak fakta tentang
kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh oligarki El Salvador. Di antaranya,
Dokumen menyatakan:
“1.
Imam-imam Jesuit: Komisi menemukan bahwa pada November 1989, beberapa anggota
komando tinggi Tentara Salvador memerintahkan pembunuhan atas imam-imam Jesuit.
Para perwira di Akademi Militer mengorganisir pembunuhan-pembunuhan itu.
Unsur-unsur Batalion Atlacatl membunuh enam orang imam, penjaga rumah mereka,
dan puteri yang masih muda dari penjaga rumah tersebut; kemudian mereka
berusaha merekayasa bukti guna memfitnah pemberontak FMLN.
2.
El Mozote: Komisi menemukan bahwa tentara membunuh lebih dari 200 orang di El
Mozote, termasuk perempuan dan anak-anak pada 1980. Ia mengutip eks komandan
Batalion Atlacatl Kolonel Domingo Monterrosa Barrios dan Kolonel Natividad de
Jesus Caceres Cabrera, yang berpangkat mayor pada saat pembantaian. Komisi juga
mengutip Ketua Mahkamah Agung Mauricio Gutierrez Castro atas campur tangan yang
tidak pada tempatnya dalam jalannya proses-proses yudisial sehubungan dengan
investigasi atas pembantaian.
3.
Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero: Komisi menemukan bahwa Mayor Roberto
D'Aubuisson memerintahkan pembunuhan atas Sang Uskup Agung dan bahwa Kapten
Tentara Eduardo Avila dan eks Kapten Alvaro Saravia, demikian juga Fernando
Sagrera memainkan suatu peran aktif dalam pembunuhan. Komisi lebih lanjut
menemukan bahwa Mahkamah Agung El Salvador memainkan suatu peran aktif dalam
menghalangi ekstradisi dari Amerika Serikat atas diri Kapten Saravia.”
Guna
menyajikan kasus “yang berimbang”, Dokumen selanjutnya menyalahkan kaum
gerilyawan FMLN atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan:
“4.
Pembunuhan-pembunuhan terhadap para walikota oleh FMLN: Komisi mendapati bahwa
Komando Umum FMLN menyetujui pembunuhan terhadap para walikota sipil dan bahwa
Tentara Revolusioner Rakyat (ERP) dari FMLN bertanggung jawab atas pembunuhan
setidaknya sebelas orang walikota. Komisi mendapati bahwa para komandan ERP
Joaquin Villalobos, Ana Guadelupe Martinez, Mercedes del Carmen Letona, Jorge
Melendez, dan Marisol Galindo bertanggungjawab atas eksekusi-eksekusi
tersebut.”
Dalam
konteks yang lebih luas, Komisi PBB ini mendapati bahwa FMLN bertanggung jawab
karena FLMN telah melakukan “aksi-aksi kekerasan yang serius.” Komisi ini
menyerukan agar FLMN meninggalkan segala bentuk kekerasan demi mencapai
tujuan-tujuan politik. Namun, dokumen ini juga mengatakan bahwa “mayoritas kekejaman
yang dipelajari oleh Komisi dilakukan oleh anggota-anggota Angkatan Bersenjata
atau kelompok-kelompok yang bersekutu dengan mereka.”
Tidak
jelaskah itu? Mayoritas kekejaman dilakukan oleh anggota-anggota Angkatan
Bersenjata atau kelompok-kelompok yang bersekutu dengan mereka. Bila itu
persoalannya, bagaimana mungkin kita menempatkan sejumlah kecil “kekejaman”
yang dilakukan oleh para pemberontak pada tataran yang sama dengan mayoritas
pembunuhan-pembunuhan dan kejahatan-kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
negara?
Peran Imperialisme AS
Dokumen
melanjutkan:
“Komisi
juga prihatin bahwa kaum eksil Salvador yang tinggal di Miami membantu
aktivitas-aktivitas pasukan pembunuh dalam kurun waktu 1980-1983, dengan
perhatian yang nampaknya sedikit dari pemerintah AS. Penggunaan wilayah Amerika
untuk aksi-aksi terorisme luar negeri tersebut harus diinvestigasi dan tidak
pernah boleh terulang lagi.”
Setiap
orang tahu bahwa Amerika Serikat mengintervensi secara aktif dan agresif di
Amerika Tengah di sepanjang periode ini. Di Nikaragua, pada 1979 gerakan
revolusioner Sandinista menggulingkan rezim penindas Anastasio Somoza, yang
keluarganya telah menguasai negeri itu sejak 1930-an. Washington segera mulai
menggangsir pemerintahan revolusioner di Managua, dengan meluncurkan suatu
operasi militer, ekonomi, dan agresi diplomatik besar-besaran.
Di
sepanjang dekade 1980-an, imperialisme AS menggelar peperangan berdarah
terhadap rakyat Nikaragua dan El Salvador sebagai bagian dari perang global
melawan “Komunisme.” AS menggelontorkan miliaran dolar untuk perang kotor itu.
Dalam peperangan itu, terorisme, pembunuhan-pembunuhan politik, penyiksaan,
penculikan, dan penghilangan-penghilangan merupakan kejadian yang lazim!
Oscar
Romero menggugat keterlibatan pemerintah AS. Pasalnya, AS mengirimkan miliaran
dolar bantuan militer kepada pemerintah El Salvador semasa perang sipil.
Pemerintah AS juga memberikan pelatihan militer kepada Angkatan Bersenjata El
Salvador. Mayor D'Aubuisson, pendiri pasukan-pasukan pembunuh di El Salvador,
adalah lulusan Akademi Militer Amerika dengan spesialisasi kontra-insurgensi.
Beberapa
pekan sebelum kematiannya, Romero mengirim sepucuk surat kepada Presiden AS
Jimmy Carter. Dalam surat itu ia berkata, “Anda katakan bahwa Anda Kristen.
Bila Anda benar-benar Kristen, tolong hentikan pengiriman bantuan militer
kepada militer di sini, karena mereka menggunakannya hanya untuk membunuh
umatku.” Surat itu tidak pernah dibalas.
Tidak
ada yang baru atau mengherankan di sini. Imperialisme AS menganggap El
Salvador, bahkan seluruh Amerika Tengah dan Selatan, sebagai halaman belakang
rumahnya. AS memandang dirinya sebagai pemilik real estate ini. Seperti pemilik
lain yang “bertanggung jawab”, AS membutuhkan seekor anjing penjaga untuk
mengawasi propertinya siang dan malam. Anjing penjaga itu harus galak dan tidak
takut menggigit. Anjing penjaga itu adalah oligarki Salvador, yang memelihara aparatus
represif yang besar, tentara, polisi, intelijen, penjaga-penjaga penjara, para
penyiksa, dan pembunuh-pembunuh bayaran.
Individu-individu
ini terhubung dengan beribu benang dengan CIA dan imperialisme AS. Mereka
dilatih untuk membunuh dan menyiksa di tempat-tempat seperti Miami. Meminta
agar hal itu tidak terjadi adalah meminta pemilik halaman rumah untuk mengusir
anjing penjaganya. Ia akan menjawab sambil tersenyum sinis: “Saya akan mengusir
anjing penjagaku bila Anda dapat menjamin tidak akan ada maling di daerah ini!”
Para
penyusun laporan juga meminta kepada Washington agar hal itu tidak terjadi
lagi. Tapi kaum imperialis AS tidak terkesan dengan himbauan itu. Mereka
memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Mereka akan mempertahankan
kepentingan-kepentingan itu dengan cara-cara yang serius.
Teror
adalah sebuah instrumen peperangan. Teror adalah fitur yang niscaya dalam
peperangan manapun, karena tujuan perang satu-satunya adalah membuat lawan
tunduk pada kehendak Anda. Di mana musuh jauh lebih banyak daripada pihak
Saudara, penggunaan teror menjadi makin niscaya. Itulah yang terjadi di El
Salvador, di mana oligarki yang segelintir dan parasitik itu dikelilingi oleh
lautan kaum buruh dan tani yang sudah tidak bisa lagi menerima penindasan dan
penghisapan!
Kaum
imperialis menggunakan metode-metode teroristik terhadap massa rakyat di
negeri-negeri pendudukan. Massa rakyat di negeri-negeri itu menggunakan
metode-metode teroristik untuk membela diri dan mengusir musuh asing. Terorisme
perlawanan mereka bersifat mentah, sederhana, dan sering kali gagal.
Sebaliknya, terorisme yang digunakan kaum imperialis sangat canggih, dengan
ditunjang oleh sekian banyak uang dan dilengkapi dengan pasokan ilmu
pengetahuan yang paling baru dan teknologi yang paling maju. Terorisme kaum
imperialis membunuh jauh lebih banyak orang daripada terorisme perlawanan dari
kalangan massa rakyat.
Dasa
Titah Musa menegaskan: “Jangan membunuh!” Tapi sejarah dunia memperlihatkan
kepada kita bahwa pemerintah-pemerintah tidak pernah memberikan perhatian
kepada Dasa Titah Musa. Karena itu kita sangat meragukan apakah mereka akan
memberikan perhatian kepada kuliah-kuliah moral dalam laporan Komisi Kebenaran
PBB ini!
Rekonsiliasi?
“Komisi
mendapati bahwa pasukan-pasukan pembunuh, yang sering kali digerakkan oleh
militer dan didukung oleh para pengusaha yang berkuasa, para pemilik tanah, dan
beberapa politisi terkemuka, telah lama beraksi di El Salvador dan tetap merupakan suatu bahaya
politik. Komisi menerima kesaksian tentang lebih dari 800 korban
pasukan-pasukan pembunuh. Problem ini begitu serius sehingga Komisi menyerukan
investigasi khusus terhadap pasukan-pasukan pembunuh guna menyingkap dan
mengakhiri pembunuhan-pembunuhan tersebut. Secara khusus Komisi prihatin
terhadap hubungan yang erat antara militer, para pembunuh bayaran, kaum
ekstremis dalam komunitas bisnis Salvador, dan beberapa keluarga kaya-raya
“yang menggunakan pembunuhan untuk menyelesaikan persoalan.”
Sekarang
kita tiba pada poin yang paling penting:
Apa
yang harus dilakukan terhadap semuanya ini?
Ini
bukan pertanyaan sekunder! Bila langkah-langkah yang memadai tidak diambil
sekarang untuk mengidentifikasi, menahan, dan menghukum pihak-pihak yang
bersalah, kita tidak pernah bisa menjamin bahwa kejahatan-kejahatan yang sama
tidak akan dilakukan di masa depan. Negara harus sama sekali dibersihkan dari
semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpartisipasi dalam
kejahatan-kejahatan terhadap rakyat.
Lantas
apa yang diusulkan Komisi itu?
Pertanyaan
ini membawa kita pada sisi negatif dokumen ini. Sebagaimana yang bisa kita
harapkan dari PBB, dokumen mereka tidak memiliki isi kelas sama sekali. Dokumen
mereka menyajikan perang sipil di El Salvador dalam terma moralistik yang
munafik. Dokumen ini mengutuk kekerasan secara umum, tanpa bersusah-payah
menganalisis isi yang konkret dari kekerasan itu. Dokumen ini menyesalkan fakta
“ada kekerasan”, tapi tidak pernah mengatakan kepada kita mengapa ada kekerasan,
siapa penyerang (aggressor), dan siapa korban. Dengan perkataan lain, Dokumen
ini menempatkan korban dan penyerang pada tataran yang sama.
Bila
seorang perempuan diserang di jalan oleh seorang laki-laki yang berusaha
memerkosa dan membunuhnya, dan perempuan itu melawan untuk menyelamatkan
dirinya, bisakah kita mengutuk keduanya, seolah-olah kekerasan yang dilakukan
oleh si pemerkosa dan kekerasan yang harus dilakukan si korban demi
menyelamatkan diri adalah dua hal yang sama? Tidak ada manusia yang rasional
dan bermoral akan berkata begitu! Tapi bukan itu yang tersirat dalam Dokumen
PBB? Dokumen ini juga mengatakan:
“Komisi
berharap bahwa El Salvador yang lebih adil akan bangkit dari abu peperangan di
mana semua pihak telah berlaku tidak adil.”
Inilah
kemunafikan yang berfungsi melucuti kaum miskin dan tertindas di hadapan para
penindas mereka! “Semua pihak telah berlaku tidak adil!” Seolah-olah kekerasan
budak tertindas yang berjuang untuk mempertahankan dirinya terhadap cambuk si
tuan majikan bisa diletakkan pada tataran yang sama dengan kekerasan si pemilik
budak!
“Pengampunan
juga sangat diperlukan,” kata Dokumen PBB. Kemudian Dokumen ini mengatakan,
“Siksaan-siksaan dan luka yang ditimpakan pada puluhan ribu rakyat di El
Salvador tidak akan dan tidak boleh dilupakan.” Sungguh, suatu kontradiksi!
Mengharapkan Keadilan
Semuanya
ini cukup jelas bagi siapa saja. Tapi, sekali lagi, apakah yang harus
dilakukan?
“Komisi
memandang adil untuk menuntut hukuman atas pelanggaran-pelanggaran HAM. Tapi
pada dirinya sendiri, ia [Komisi, PJ] tidak didirikan untuk menetapkan
sanksi-sanksi; dan [ia juga, PJ] menyadari bahwa sistem peradilan Salvador saat
ini tidak mampu untuk secara adil menilai dan melaksanakannya. Karena itu,
Komisi merasa tidak dapat merekomendasikan laporan persidangan di El Salvador
tentang orang-orang yang disebut namanya dalam laporan ini sampai reforma
peradilan dilaksanakan.”
Tentu
kita mendukung reforma terhadap sistem legal dan peradilan untuk membuatnya
lebih demokratis dan lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan dan
tuntutan-tuntutan rakyat. Namun, dalam kasus El Salvador, reforma ini berarti
akan membubarkan hampir seluruh pengadilan dan menyeret banyak hakim ke
pengadilan karena terlibat dalam kejahatan-kejahatan perang! Reforma peradilan
itu akan mempunyai banyak implikasi, dan hanya bisa dilaksanakan sebagai bagian
dari rekonstruksi revolusioner atas masyarakat – suatu perubahan yang
menyeluruh!
Laporan
Komisi mencatat bahwa sehubungan dengan kasus Romero, Pemerintah El Salvador
telah melanggar sekian banyak kesepakatan internasional tentang penegakan
hukum. Laporan itu lebih jauh merekomendasikan:
"agar
negara melaksanakan suatu investigasi yudisial yang lengkap, imparsial, dan
efektif, dengan cepat dan efisien, untuk
mengidentifikasikan, mengadili, dan menghukum semua pelaku, baik para pelaku
langsung maupun perencana-perencana pelanggaran-pelanggaran yang telah
dilakukan, kendati ada dekrit tentang amnesti.”
Setiap
buruh dan tani tahu bahwa pengadilan adalah bagian dari negara borjuis, bahwa
pengadilan terdiri dari individu-individu yang berasal dari kalangan kaya dan
berkuasa, sehingga, kendati tampilan “imparsialitas” yang munafik ini, pengadilan
sama sekali tidak imparsial, dan, dalam analisis terakhir, akan selalu membela
kepentingan-kepentingan minoritas kaya terhadap mayoritas miskin. Itulah yang
sebenarnya terjadi, bahkan di negeri-negeri yang paling maju dan demokratik. Di
El Salvador situasinya jauh lebih jelas.
Komisi
lebih jauh mengatur bahwa “suatu negara tidak bisa bersandar pada undang-undang
internal untuk mengelak dan tidak melaksanakan kewajibannya untuk
menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran HAM, memperhadapkan ke pengadilan orang-orang
yang harus bertanggung jawab, dan mencegah kekebalan hukum.” Tapi justru itulah
yang dilakukan negara di El Salvador! Pada tahun yang sama dengan penerbitan
laporan itu, Undang-undang Amnesti disahkan oleh Majelis Legislatif, yang kala
itu dikontrol oleh ARENA (partai yang ada di balik semua kekejaman yang
dilakukan oleh tentara dan pasukan-pasukan pembunuh!).
Kadang-kadang,
kelas penguasa akan membuat suatu gerakan ke arah “keadilan” untuk
membangkitkan ilusi dalam pikiran rakyat bahwa negara itu imparsial, dan bahwa
pada akhirnya keadilan akan selalu menang. Bahkan penguasa bisa mengorbankan
beberapa individu yang melayaninya di masa lalu namun tidak diminatinya lagi
sekarang. Itulah yang dialami eks kapten Angkatan Udara Salvador, Alvaro Saravia,
yang didapati bersalah merencanakan pembunuhan Romero dengan eks perwira
militer lainnya.
Saravia
telah beremigrasi ke AS ketika investigasi terhadap perannya dalam pembunuhan
Romero dimulai. Pada 1987 ia ditahan oleh pihak berwenang AS. Para jaksa El
Salvador mengupayakan agar ia diekstradisi. Tapi pemerintah dan sistem
peradilan Salvador bergerak cepat untuk membuat permintaan itu ditarik kembali.
Dalihnya: “tidak ada cukup bukti” terhadap tuduhan-tuduhan yang diajukan.
Saravia dibebaskan pada 1988.
Keluarga
Uskup Agung Romero yang masih hidup – dua saudara laki-lakinya (sekarang
berumur 70-an tahun) – kembali menghadap pengadilan AS. Mereka memasukkan
berkas perkara terhadap Saravia di Negara Bagian California seturut Alien Tort
Claims Act dan Torture Victim Protection Act, yang memungkinkan orang-orang
berkebangsaan asing diadili di AS atas kejahatan yang dilakukan di luar AS.
Saravia
diperintahkan untuk membayar $10 juta oleh seorang hakim pengadilan federal di
California. Saravia tidak muncul di pengadilan. Ia diadili dan dihukum in
absentia. Tidak diketahui secara pasti keberadaannya sekarang. Diduga, ia masih
di Amerika Serikat.
Pada
15 Maret 2009, rakyat El Salvador meraih kemenangan yang bersejarah. Mauricio
Funes, kandidat dari Frente Farabundo Marti para la Liberacion Nacional (FMLN)
terpilih sebagai presiden. Untuk pertama kalinya kaum Kiri membentuk
pemerintahan. Funes berkata bahwa ia akan berpihak pada kaum miskin dan kaum
tersisih. Itu sangat baik! Tapi sangat penting menerjemahkan perkataan ke dalam
perbuatan!
Rakyat
El Salvador bertekad untuk menemukan kebenaran, untuk mengakhiri kekebalan
hukum dan penyembunyian kebenaran, dan untuk mendapatkan keadilan. Pemerintah
Salvador telah mengambil langkah yudisial untuk "mengidentifikasikan,
mendakwa, dan menghukum” semua otak dan penghasut pembunuhan Romero. Suatu
langkah yang tepat arah, tentu, tapi jauh dari memadai. Mutlak penting untuk
membatalkan Undang-undang Amnesti 1993 yang memalukan itu, yang secara efektif
telah memblokir investigasi apapun terhadap kejahatan yang dilakukan semasa
perang sipil.
Pembunuhan
terhadap Uskup Agung Romero adalah kejahatan terhadap seluruh rakyat El
Salvador. Ini merupakan contoh yang sempurna dari kebrutalan dan kebiadaban
kelas penguasa. Selama bertahun-tahun pemerintahan yang dipimpin ARENA
bersembunyi di balik Undang-Undang Amnesti untuk menghindari agar kasus tidak
dibuka kembali. Pencabutan undang-undang tersebut mutlak perlu untuk
mewujudnyatakan kerinduan rakyat akan keadilan.
Sekarang
telah menjadi tren untuk berbicara tentang “dialog, toleransi, dan
rekonsiliasi.” Mereka berbicara tentang “rekonsiliasi nasional” dan
“mempersatukan kembali keluarga Salvador.” Musuh-musuh keadilan tidak pernah
kekurangan argumen. “Membuka kembali luka-luka lama dari masa lalu tidak akan
sejalan dengan kepentingan-kepentingan terbaik dari suatu negeri yang sedang
menatap masa depan”, “Membuka kembali luka-luka lama tidak akan mendatangkan
kebaikan apapun kepada siapapun. Itu akan menyebabkan perpecahan,” dsb., dsb.!
Tapi
itu semua omong kosong. Munafik! Tidak ada “keluarga” antara si kaya dan si
miskin. Tidak mungkin ada rekonsiliasi antara para penindas dan kaum tertindas,
antara para penghisap dan kaum terhisap, antara para pembunuh dan yang
terbunuh. Mereka berkata-kata tentang suatu “proses demokratik”, tapi demokrasi
macam mana bila oligarki yang sama, yang menindas dan korup, tetap berkuasa dan
memegang kendali? Keadilan macam mana bila tiga dekade kemudian, para pembunuh
dan penyiksa bisa berjalan-jalan dengan bebas di jalan San Salvador dan
tertawa-tawa di wajah korban-korban mereka?
Laporan
PBB berkata:
“Sebuah
monumen nasional harus didirikan, yang menuliskan nama semua korban perang.
Suatu hari libur nasional tahunan harus dideklarasikan untuk mengingat yang
mati dan merayakan rekonsiliasi. Laporan ini harus didiskusikan dan dianalisis
dalam forum publik nasional di El Salvador.”
Itu
baik. Tapi masih berputar-putar di pinggiran masalah. Tidak menangani masalah
sampai ke akar-akarnya!
Mudah
saja mengangkat suatu isu yang serius, berbicara keras tentang suatu “solusi”,
dan kemudian mengerdilkannya menjadi sebuah sandiwara yang menyajikan
simbol-simbol – sebagai ganti aksi yang serius. Itulah yang kita saksikan. Pada
2005, saat peringatan ke-25 pembunuhan Romero, kita melihat kilatan-kilatan
cahaya memancar dari “kobaran api kekal” yang terletak di depan Katedral. Tahun
2010 Kongres Nasional sepakat untuk mendeklarasikan 24 Maret sebagai “Hari
Monseñor Romero”, yang tentu saja ditentang oleh ARENA dan PCN.
Lepas
dari soal “kobaran api kekal” dan “aktivitas-aktivitas budaya dan relijius”,
pertanyaan yang harus tetap diajukan adalah: langkah-langkah konkret apa yang
sedang diambil untuk membawa para pembunuh ke pengadilan? Langkah-langkah konkret
apa yang sedang diambil untuk membersihkan tentara dan polisi dari kaum fasis,
para penyiksa, dan para pembunuh? Sampai pertanyaan-pertanyaan ini dijawab,
kita tidak yakin bahwa peristiwa-peristiwa masa lalu tidak akan berulang di
masa depan. Ini sama sekali bukan pertanyaan yang sekunder bagi rakyat El
Salvador!
Terpilihnya
pemerintahan FMLN adalah suatu langkah besar ke depan. Tapi tidak cukup sekadar
memenangkan pemilu! Pemerintah dipilih oleh rakyat untuk mengadakan perubahan
fundamental dalam masyarakat. Mustahil mengadakan perubahan itu sementara
lapisan-lapisan utama kekuasaan politik dan ekonomi masih tetap berada di
tangan oligarki reaksioner.
Di
masa lalu kaum Stalinis membela Teori Dua Tahap yang mendatangkan bencana itu.
Seturut teori tersebut, kaum buruh dan tani El Salvador tidak boleh merebut
kekuasaan. Mereka harus mendukung burjuasi “progresif” dan membatasi diri
mereka pada tuntutan-tuntutan demokratik. Argumen ini keliru sepenuhnya. Tidak
ada burjuasi progresif di El Salvador, suatu negeri di mana kaum tuan tanah dan
kaum kapitalis membentuk sebuah blok reaksioner untuk merintangi jalan
kemajuan.
Memang
kita sepakat: mutlak perlu memperjuangkan tuntutan-tuntutan demokratik di El
Salvador. Tapi itu berarti memenuhi tuntutan yang paling elementer: tangkap dan
hukum semua pihak yang bertanggung jawab atas kekejaman-kekejaman terhadap
rakyat; bersihkan tentara, polisi, dan pengadilan dari kaum fasis; adili dan
hukum semua pembunuh dan penyiksa!
Langkah-langkah
yang adil dan niscaya ini akan didukung oleh mayoritas sangat besar kaum buruh
dan tani. Sebaliknya, langkah-langkah ini akan dilawan mati-matian oleh
oligarki, yang melihat hal ini sebagai serangan terhadap kekuasaan mereka.
Tidak lain, ini merupakan perjuangan yang serius. Pasalnya jelas: kaum
reaksioner mengontrol negara! Tapi jelas pula: kelas buruh dan kaum tani adalah
mayoritas masyarakat yang menempati posisi menentukan. Bila sekali lagi mereka
terorganisir dan bermobilisasi untuk mengubah masyarakat, tidak ada kekuatan di
muka bumi ini yang sanggup menghentikan mereka!
Hanya
sebuah program revolusioner yang bisa menawarkan jalan keluar dari kebuntuan
ini. Tendensi Marxis yang diwakili BPJ menawarkan program itu. Kita bukan kaum
Utopis atau Anarkis. Kita memahami bahwa perjuangan untuk Sosialisme bukanlah
sebuah pertarungan tunggal. Perjuangan untuk Sosialisme terdiri dari banyak
pertempuran dengan isu-isu yang berbeda. Hanya melalui perjuangan dari hari ke
hari demi tuntutan-tuntutan yang berbeda – termasuk tuntutan-tuntutan demokratik
yang paling maju – dapatlah massa rakyat memperoleh kekuasaan dan keyakinan
untuk tiba pada pertempuran yang paling menentukan: penaklukan kekuasaan
politik.
Kaum
buruh dan tani El Salvador telah memenangkan suatu pertempuran penting dalam
front elektoral. Sekarang mereka harus memastikan bahwa kemenangan pertama ini
akan mendorong mereka untuk memberikan pukulan yang menentukan terhadap
oligarki. Perjuangan untuk demokrasi, bila merupakan perjuangan yang konsisten,
pasti akan bermuara pada perjuangan untuk mematahkan kekuasaan oligarki.
Artinya, perjuangan itu akan bermuara pada penyitaan terhadap tuan-tuan tanah,
para bankir, dan kaum kapitalis, dan pengambilan kekuasaan oleh kelas buruh.
Itu akan menjadi langkah pertama menuju kemenangan Sosialisme di El Salvador
serta seluruh Amerika Tengah dan Utara. Bahkan itu akan menjadi langkah yang
menentukan menuju kemenangan Sosialisme dunia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar