Senin, 29 Juni 2015

MARXISME: MAKNA DAN RELEVANSINYA (4)

4. Siapa yang Memproduksi Kekayaan?

Cendekiawan George Bernard Shaw pernah berkata, “Saya tidak memerlukan suatu teori tentang nilai untuk memberitahukan kepadaku bahwa kaum miskin dieksploitasi.” Shaw beranggapan bahwa teori ekonomi Marxis adalah satu dari sekian banyak teori yang tak berguna yang diciptakan di kursi empuk seorang profesor yang tidak pernah bersentuhan apalagi bergulat dengan realitas penghisapan alias eksploitasi! Tapi inilah anggapan yang lazim, pula sering terkait dengan pandangan bahwa ilmu ekonomi Marxis sangat rumit, membosankan, dan sulit dimengerti. 

Benarkah demikian?

Sebenarnya idea-idea kunci ilmu ekonomi Marxis terbilang mudah dipahami bila Saudara mengerti maksud dan tujuan dari idea-idea tersebut. Sudah barang tentu, tiap-tiap teori punya tujuan! Nah, tujuan Marx dalam menganalisis kapitalisme pertama-tama adalah untuk memperlihatkan bagaimana buruh dieksploitasi, kemudian untuk menemukan apa yang disebutnya “hukum gerak ekonomi” (economic law of motion) dari sistem tersebut.

Poin pertama menjadi jelas ketika Saudara memperhatikan system-sistem eksploitasi lainnya. Sebutlah feodalisme sebagai contoh. Tani sahaya (serf) di Abad Pertengahan menggunakan sebagian waktu untuk mengerjakan petak tanahnya, lalu bekerja dua, tiga, atau empat hari dalam sepekan di tanah tuannya. Ia tidak dibayar! Jelas, bagian dari hasil pekerjaannya menjadi milik sang tuan. Tani sahaya ini dieksploitasi.

Sekarang, buruh atau pekerja modern dibayar untuk keseluruhan jam kerjanya. Mungkin ia dibayar lebih rendah dari standard yang berlaku (UMR/UMK). Tapi agaknya ia tidak menggunakan sejumlah waktu dalam sepekan untuk bekerja tanpa dibayar, kan? Lantas, bagaimana ia bisa dieksploitasi, yakni bekerja tanpa dibayar demi keuntungan kelas yang mengeksploitasi?

Teori Marx tentang Nilai menjelaskannya. Pertama dan terutama kapitalisme adalah suatu sistem produksi komoditas. Ini berarti barang-barang (dan jasa-jasa) diproduksi untuk dijual.  Apa yang memutuskan harga relatif dari TV dan mobil, misalnya? Jelas ada “sesuatu” sehubungan dengan fakta bahwa harga mobil lebih mahal daripada harga TV. Mengapa harga mobil lebih mahal daripada harga TV? Jawaban Marx: Nilai dari suatu komoditas ditentukan oleh waktu-kerja-yang-niscaya-secara-sosial, yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Sederhananya, mobil lebih mahal daripada mobil karena memerlukan kerja lebih banyak untuk membuatnya.

Asal-muasal idea ini bukan dari Marx. Sebagaimana dikatakan oleh seorang pakar ekonomi modern,

Teori tentang kerja adalah salah satu dalil yang paling hebat dalam ilmu ekonomi klasik … dan nampaknya tetap akan berlaku – dengan perbaikan-perbaikan, tentunya – di kalangan pakar ekonomi ortodoks andaikata Marx dan beberapa pendahulunya tidak menggunakannya secara efektif sebagai batu uji dari ideologi kelas buruh.

Tapi Marx melakukan sejumlah perbaikan atas teori tersebut. Misalnya, waktu-kerja “yang-niscaya-secara sosial” berarti jam-jam-manusia yang dikerahkan untuk menggunakan teknik-teknik produksi mutakhir. Akan lebih banyak waktu-kerja yang dikerahkan untuk membuat mobil dengan metode yang berlaku pada 1900 ketimbang metode yang berlaku saat ini. Tapi bila diproduksi sekarang, mobil-mobil itu tidak akan memiliki nilai yang sesuai dengan jumlah waktu kerja itu. Mobil-mobil itu akan dijual dengan harga masa kini.

Sudah barang tentu, dalam suatu kurun waktu para kapitalis yang berbeda akan menggunakan perlengkapan yang kurang-lebih maju daripada yang lazim. Tingkat rata-rata secara keseluruhanlah yang diambil sebagai standard.  Perlu diperhatikan juga biaya material untuk membuat mobil, yang lebih besar daripada biaya untuk membuat TV. Tapi material-material ini juga komoditas; nilai mereka ditentukan dengan cara yang sama.

Nilai dari produk akhir mencakup nilai dari semua item yang dipergunakan dalam produksi. Nilai itu ditentukan oleh jumlah keseluruhan jam-jam-manusia yang diperlukan, pada tingkat rata-rata, dalam keseluruhan proses yang menghasilkan produk akhir dan segala sesuatu yang terserap ke dalamnya, termasuk transportasi yang diperlukan.

Lantas apa sangkut-pautnya hal ini dengan eksploitasi? Inti persoalannya adalah: si kapitalis beroleh penghasilan dengan menjual komoditas dengan harga yang diasumsikan mendekati dengan nilai komoditas tersebut.

Sang buruh tidak memiliki komoditas material untuk dijual. Ia memang memiliki sesuatu untuk dijual: ia memiliki kemampuan untuk bekerja, tenaga kerjanya. Upah adalah harga tenaga kerja dan dengan demikian tenaga kerja adalah suatu komoditas, yang dibeli dan dijual seperti komoditas lainnya. Tenaga kerja memiliki nilai. “Nilai tenaga kerja ditentukan oleh nilai dari hal-hal niscaya yang dibutuhkan untuk memproduksi, mengembangkan, mempertahankan, dan melestarikan sang buruh … Upah yang ditentukan demikian adalah upah minimum.”

Marx sadar betul bahwa upah tidak secara niscaya berada pada level subsistensi yang paling sederhana:

Di samping unsur fisik semata (yakni apa yang niscaya untuk membuat sang buruh dan keluarganya tetap hidup dan mampu bereproduksi, PJ), nilai tenaga-kerja, di setiap negeri, ditentukan oleh standard hidup tradisional. Bukan semata kehidupan fisik, tapi pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari kondisi-kondisi sosial yang di dalamnya manusia ditempatkan dan dibesarkan.

Level aktual dari upah riil sebagian bergantung pada hasil dari perjuangan kelas. Ada suatu batas bawah yang tidak bisa diturunkan lagi, yakni level subsistensi yang sangat sederhan. Tetapi di atas batas bawah tersebut, upah riil bisa terus didorong ke atas.

Namun, Marx percaya adanya mekanisme-mekanisme dalam sistem untuk mengekang bahkan menurunkan peningkatan dalam upah riil. Kita akan mengkajinya nanti. Dalam pada itu, patut diperhatikan bahwa upah riil di Inggris telah meningkat sangat signifikan pada abad yang lalu, tapi upah relatifnya – bagian upah dalam income (pendapatan) nasional keseluruhan – tetap konstan, sekitar 42 persen, sejak 1870.

Perbedaan antara nilai komoditas yang diproduksi dan nilai tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi komoditas itu dinamakan Nilai Lebih.

Nilai Lebih menjadi milik para pemilik alat-alat produksi alias para kapitalis. Inilah sumber income mereka.

Ringkasnya begini. Komoditas, termasuk tenaga kerja, dijual dengan harga yang mendekati nilai mereka yang sesungguhnya. Kemudian para kapitalis alias para pemilik alat-alat produksi akan menerima, setelah memungkinkan pembayaran bahan-bahan mentah, barang-barang setengah jadi, depresiasi dan upah, suatu income, yakni Nilai Lebih. Secara aktual, Nilai Lebih merepresentasikan kerja kaum buruh yang tidak dibayar!

Inilah sumber eksploitasi alias penghisapan di bawah kapitalisme. Para buruh yang dibayar paling baik akan menjadi buruh yang paling dieksploitasi. Sebab mereka paling produktif! Setelah mengukuhkan hal ini, Marx mempertimbangkan efek-efek dari perubahan dalam produktivitas kerja dan dalam distribusi produk terhadap bekerjanya sistem ini. ***

Disadur oleh Pandu Jakasurya dari Duncan Hallas, The Meaning of Marxism, https://www.marxists.org/archive/hallas/works/1971/meaning/marxism.htm