Jumat, 17 Juli 2015

MARXISME: MAKNA DAN RELEVANSINYA (5)

5. Kekuatan yang Mengoperasikan Sistem

Masyarakat borjuis modern dengan hubungan-hubungan produksinya, hubungan-hubungan pertukaran, dan hubungan-hubungan miliknya, suatu masyarakat yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, adalah seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantranya. ... Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis (Marx & Engels, Manikom). 

Sistem kapitalis sering nampak persis dengan yang digambarkan Marx. Tapi ada saat-saat ketika sistem kapitalis kelihatan berbeda. Kok bisa? Kemungkinan pertama, analisis Marx tentang kapitalisme keliru (sebagaimana diuar-uarkan oleh para intelektual borjuis). Kemungkinan kedua, sistem kapitalis memang memiliki kecenderungan untuk memperparah krisis, namun kecenderungan tersebut dimodifikasi dengan aksi-aksi dari faktor-faktor yang lain.

Mana yang benar, yang sesuai dengan kenyataan?

Menurut Marx, ada dua hal mendasar dalam kapitalisme yang membuat krisis-krisis ekonomi tidak bisa dihindari. Yang pertama adalah kecenderungan periodik untuk memproduksi komoditi yang lebih banyak daripada yang bisa dijual. Kaum Marxis menyebutnya overproduksi; sedangkan para pakar ekonomi borjuis mutakhir menyebutnya overkapasitas. Yang kedua adalah kecenderungan penurunan tingkat profit. 

Sekarang, mari coba kita bayangkan sebuah masyarakat kapitalis yang tidak mengenal akumulasi kapital. Setiap tahun komoditas diproduksi dengan kuantias dan nilai yang sama. Teknik-teknik produksi tidak berubah. Semua komoditas yang dihasilkan dijual sesuai dengan nilainya. Marx menyebut sistem ini “reproduksi sederhana.” 

Pendapatan total mengalir ke dalam pundi-pundi para kapitalis. Dengan itu mereka harus membeli bahan-bahan mentah untuk mengganti yang sudah digunakan dalam produksi. Mereka juga harus mengeluarkan biaya terkait dengan penyusutan dan keausan pada bangunan dan mesin-mesin. Kemudian mereka harus membayar upah. Selebihnya dari pendapatan itu merepresentasikan Nilai Lebih. Inilah “milik” para kapitalis. Bila mereka membelanjakan semuanya untuk barang-barang konsumsi, tidak akan timbul masalah overproduksi.

Oke. Masih dalam skema reproduksi sederhana, sekarang coba kita bayangkan bahwa beberapa kapitalis tidak membelanjakan pendapatan mereka. Krisis overproduksi pun terjadi. Kok bisa? Begini. Setelah menjual komoditas, para kapitalis ini tidak lagi melakukan pembelian-pembelian ekivalen yang penuh. Akibatnya: penurunan (slump) dalam permintaan (demand) serta kejatuhan dalam tingkat profit. 

Tentu saja reproduksi sederhana tidak pernah atau tidak mungkin ada. Namun gambaran di atas mengilustrasikan persoalan-persoalan sentral kapitalisme. Di dalam kapitalisme tidak ada  perencanaan produksi yang menyeluruh. Harus ada suatu invisible hand (“tangan yang tidak kelihatan”) yang mengarahkan produksi dan konsumsi agar mempertahankan keseimbangan yang eksak.

Dengan skema reproduksi sederhana, mempertahankan keseimbangan bukanlah hal yang terlalu sukar. Tapi, dalam kenyataannya tidak ada sistem kapitalis dengan skema reproduksi sederhana. Tidak ada sistem kapitalis tanpa akumulasi kapital. Nah, di sinilah letak persoalan yang sesungguhnya. Dengan gaya menyindir Marx pernah menulis, “Akumulasi, akumulasi. Itulah Musa dan para nabi.” Para kapitalis tidak punya pilihan kecuali melakukan akumulasi kapital. Persaingan memaksa tiap-tiap perusahaan untuk berusaha melakukan akumulasi dengan menginvestasikan kembali bagian utama dari Nilai Lebih.  

Nilai Lebih dikonversi menjadi Kapital. Sebagian digunakan untuk membayar upah (Kapital Variabel). Sebagian terbesar digunakan untuk memperoleh mesin dan gedung-gedung tambahan. Kapitalis juga perlu membeli tambahan bahan-bahan mentah dan membayar depresiasi. Marx mengelompokkan semua pengeluaran ini (kecuali upah) dalam rubrik Kapital Konstan. Nah, akumulasi berarti pertumbuhan Kapital Konstan yang digunakan dalam  produksi.  

Ada sejumlah konsekuensi. Salah satunya: akumulasi kapital, ceteris paribus, akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja. Dampaknya, sebagaimana diikhtisarkan oleh almarhum P.M. Sweezy (1910-2004), seorang pakar ekonomi Marxis: 

Ketika permintaan terhadap suatu komoditas meningkat, harganya juga meningkat. Ini menyebabkan deviasi harga dari nilai. Dalam kasus suatu komoditas biasa, misalnya pakaian katun, hal ini akan menyebabkan gerakan untuk membawa harga kembali pada kesesuaian dengan nilainya. Manufaktur-manufaktur pakaian katun akan mendapatkan profit tinggi, para kapitalis dari luar akan tergoda untuk memasuki industri, penawaran pakaian katun akan diperluas, harga akan turun sampai setara lagi dengan nilai dan profit normal.
Setelah menyatakan prinsip umum dengan cara ini kita segera dibuat terkesan oleh suatu fakta yang mengejutkan: tenaga kerja bukanlah komoditas biasa. Tidak ada kapitalis yang bisa berpaling untuk memproduksi tenaga kerja ketika harganya meningkat; faktanya, sama sekali tidak ada “industri tenaga kerja” dalam artian yang sama dengan industri pakaian katun ... Dalam kapitalisme secara umum, tidak ada mekanisme yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan dalam kasus tenaga kerja.  

Kecuali beberapa faktor pengurang bisa ditemukan, upah riil pasti naik dengan cepat ketika akumulasi kapital berlangsung; ketika upah riil naik, Nilai Lebih akan terkikis sampai akhirnya tidak ada yang tertinggal/tersisa daripadanya.

Beragam faktor pengurang telah menjadi penting dalam praktik. Imigrasi buruh dalam skala masif telah terjadi sedemikian sering dalam sejarah kapitalisme. Jutaan, bahkan puluhan juta laki-laki dan perempuan pekerja telah “tersedot” dari daerah-daerah yang “terbelakang” ke jantung-jantung kapitalisme.

Tapi yang paling penting adalah penggantian kerja yang hidup dengan “kerja yang mati”, yakni peningkatan produktivitas kerja dengan menggunakan lebih banyak Kapital Konstan per manusia.  Peningkatan dalam “komposisi organik kapital” ini dipaksakan kepada para kapitalis oleh kebutuhan untuk mengurangi kenaikan permintaan atas tenaga kerja dalam proses akumulasi. 

Ini memunculkan akibat penting lainnya. Tingkat profit, yakni rasio Nilai Lebih terhadap Kapital Total (= Kapital Konstan plus Kapital Variabel), akan cenderung menurun ketika semakin banyak Kapital Konstan digunakan, kecuali bila selalu ada lebih dari sekadar kenaikan yang sebanding dalam produktivitas kerja. ***

Catatan:

1. Secara harafiah, ceteris paribus berarti “apabila hal-hal lain sama/tetap.” Artinya hanya satu faktor yang berubah sementara keadaan lainnya diandaikan tetap. Hal ini dipakai untuk mempermudah analisis atas dampak dari suatu perubahan dalam perekonomian.

2. “Komposisi organik kapital” adalah rasio Kapital Konstan yang “ditubuhkan” dalam produksi suatu komoditas dengan Kapital Variabel yang dikerahkan untuk membuatnya. *** 


Disadur oleh Pandu Jakasurya dari Duncan Hallas, The Meaning of Marxism, Chapter V: "The System's Driving Force."