Tiga:
Peran Sentral Kelas Buruh
Kekuasaan untuk Kaum Buruh |
Tanpa perkembangan
tenaga-tenaga produktif, “masyarakat sosialis” tidak lain dari “pemerataan
kemiskinan.” Jika itu terjadi, sebagaimana dikatakan Marx, “semua sampah lama
bakal hidup kembali.” Adapun yang dimaksud Marx dengan “semua sampah lama”
adalah terbelahnya (kembali) masyarakat ke dalam kelas-kelas, kesenjangan
ekonomi, perjuangan kelas, dan perang.
Dalam skala dunia, sejatinya
problem ini telah terjawab. Basis material bagi Sosialisme sudah tersedia.
Tapi, perkembangan kapitalisme membuat basis material tersebut tidak
terdistribusi secara merata. Sebutlah misalnya,
di AS output per orang per
jam, yang dirata-rata untuk semua sektor perekonomian, meningkat dari 37 unit
pada 1870 menjadi 100 unit pada 1913, menjadi 208 unit pada 1938 dan menjadi
hampir 400 unit pada 1963.
Di lain pihak, di
kebanyakan negeri “terbelakang” secara keseluruhan produktivitasnya masih sangat
rendah. Produktivitas memang sengaja dibuat supaya tetap rendah oleh kekuatan persaingan
negeri-negeri maju dan oleh transfer sumber-sumber daya dari “negeri-negeri
terbelakang” ke “negeri-negeri maju” oleh imperialisme.
Pada 1950, seorang pakar
ekonomi Tiongkok mengemukakan:
Di AS rata-rata ada sekitar 600 kali lebih
banyak kapital industrial per kepala (dari populasi) ketimbang di Tiongkok,
atau lebih dari 900 kali lebih banyak bila kita memperhitungkan kapital
manufaktur saja.
Hal yang sama berlaku
bagi negeri-negeri “Dunia Ketiga” lainnya – yang meliputi dua pertiga umat
manusia!
Kenyataan dari
perkembangan kapitalisme yang “terpadu dan tidak merata” ini meniscayakan watak
internasional dari Sosialisme
sekaligus gerakan revolusioner untuk mewujudkannya.
Gerakan itu harus
didasarkan pada kelas-kelas buruh industrial. Ini bukan soal dogma. Ini fundamental
bagi analisis Marxis tentang masyarakat, yang dengan serius memperhatikan situasi
kehidupan aktual kaum buruh modern dan membandingkannya dengan semua kelas
tertindas pada epos-epos sejarah sebelumnya.
Masyarakat-masyarakat pra-kapitalis
dicirikan oleh tingkat produktivitas yang rendah. Di samping itu, rakyat pekerja
(entah para budak, hamba-sahaya, atau kaum tani “merdeka”) pada umumnya bekerja
dalam kelompok-kelompok yang terbilang kecil, yang terisolasi dari kelompok-kelompok
serupa yang tersebar di pedalaman. Kenyataan ini menyulitkan mereka untuk berpikir
secara kolektif, apalagi beraksi sebagai sebuah kelas.
Menulis tentang kaum tani
Prancis, Marx pernah mengemukakan:
Sejauh jutaan keluarga hidup dalam kondisi-kondisi
eksistensi ekonomi yang memisahkan cara hidup mereka… dari [cara hidup] kelas-kelas
yang lain, dan menempatkan mereka dalam pertentangan yang tajam dengan yang
terakhir, mereka membentuk sebuah kelas. Sekadar interkoneksi lokal di antara
para tani kecil ini, serta kesamaan kepentingan-kepentingan mereka, tidak
melahirkan suatu kesatuan, [tidak melahirkan] persatuan nasional, dan [tidak
melahirkan] organisasi politik, mereka tidak membentuk suatu kelas.
Konsekuensinya, mereka tidak memiliki kesanggupan untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan kelas mereka … Mereka tidak bisa mewakili diri mereka
sendiri, mereka harus diwakili.
Para budak, hamba
sahaya, dan tani bisa dan sering melakukan pemberontakan, membakar rumah-rumah
dan membunuh para bangsawan (lord),
imam, dan ahli hukum. Yang mereka tidak bisa lakukan, kecuali untuk kurun waktu
yang singkat dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, adalah memberlakukan kekuasaan
mereka sebagai kelas atas masyarakat. Para penguasa lama atau yang lain-lainnya
mengambil tempat mereka. Sebab kaum tani itu cepat atau lambat bubar dan
kembali ke tanah garapan mereka masing-masing, atau kelaparan. Para penguasa
profesional muncul untuk “mewakili” mereka.
Pemusatan kelas buruh modern
ke dalam unit-unit besar di kota-kota, serta perkembangan yang luar biasa dari
alat-alat komunikasi membuka kemungkinan bagi serikat buruh dan organisasi
politik. Mereka memungkinkan kelas buruh, yang merupakan mayoritas besar, untuk
memberlakukan kehendak kolektif mereka atas masyarakat. Tidak ada pengganti mereka.
Sosialisme adalah suatu masyarakat yang didasarkan pada kerjasama sukarela di
antara rakyat pekerja. Sosialisme tidak bisa didirikan tanpa kehadiran kelas buruh
modern, tidak bisa diberlakukan “dari atas.”
Marx mengambil Komune
Paris 1871 sebagai model kekuasaan kelas buruh. Secara hakiki, penggambaran Marx
tentang cara kerja Komune Paris merupakan garis besar sebuah “negara buruh”,
kendati munculnya industri berskala besar telah membuat dewan-dewan buruh yang
didasarkan pada unit-unit produktif menjadi lebih penting ketimbang organisasi
wilayah.
Komune terdiri dari dari anggota-anggota dewan
kotapraja yang dipilih melalui pemilu yang universal … yang bertanggungjawab
dan bisa di-recall dalam jangka waktu
yang pendek. Mayoritas anggota-anggotanya secara alami adalah kaum buruh …
Komune harus menjadi sebuah badan pekerja, bukan lembaga parlementer, melainkan
badan eksekutif dan legislatif pada saat yang sama … Polisi dilucuti
atribut-atribut politiknya dan diubah menjadi agen dari Komune, yang
bertanggungjawab dan setiap saat bisa di-recall.
Demikian pula para pejabat dari semua cabang
administrasi lainnya. Dari anggota-anggota Komune ke bawah, pelayanan publik
harus dilakukan dengan upah para pekerja. Kepentingan-kepentingan terselubung
dan kelonggaran-kelonggaran para pejabat tinggi lenyap bersama dengan
pejabat-pejabat tinggi itu sendiri… Seperti selebihnya dari para pelayan
masyarakat, para magistrat dan hakim harus dipilih, bertanggungjawab, dan bisa
di-recall … Dekrit pertama dari
Komune adalah penghapusan tentara reguler dan penggantiannya dengan rakyat yang
dipersenjatai.
Sungguh suatu rezim yang
revolusioner dan demokratis. Rezim yang dengan solid didasarkan pada kelas buruh!
Rezim macam ini instrumen yang hakiki
bagi transisi menuju Sosialisme. Untuk mendirikan rezim yang revolusioner dan demokratis
ini, mesin negara kapitalis harus diakhiri. Sebab, jelaslah sudah, kekuasaan kaum
buruh tidak bersesuaian dengan segala jenis hirarki birokratis dan represif manapun!
***
Disadur oleh Pandu Jakasurya dari Duncan Hallas, The Meaning of Marxism, https://www.marxists.org/archive/hallas/works/1971/meaning/marxism.htm