Sabtu, 14 Maret 2015

MARXISME: MAKNA DAN RELEVANSINYA (1)

Satu:
Kita Butuh Teori Marxis!

Masa lalu itu penting. Sebab kita tidak bisa memahami apa yang ada sekarang kecuali bila kita memiliki pemahaman tentang bagaimana hal-ihwal yang ada sekarang bisa terjadi. Yang lebih penting, bila rakyat pekerja menyadari apa yang sedang terjadi, dan itu berarti mengetahui sesuatu tentang apa yang telah terjadi, mereka bisa mempengaruhi hasilnya secara signifikan. Begitulah ajaran guru kita, Karl Marx.

Kelas majikan beserta para politisi dan kaum intelektualnya memiliki sejenis gambaran tentang dunia, tentang bagaimana dunia berubah, dan tentang apa yang mungkin bagi mereka. Pendeknya, mereka memiliki gambaran tentang sejarah. Mereka membuat keputusan-keputusan, setidaknya dalam sebagian, dalam terang pengetahuan itu. Kita, selaku kaum buruh dan kaum revolusioner, perlu memiliki gambaran kita sendiri, pengetahuan kita sendiri, teori kita sendiri. Marxisme adalah suatu teori tentang sejarah bagi kelas buruh. Tapi mengapa suatu teori tentang sejarah? Bisakah fakta-fakta berbicara bagi dirinya sendiri?

Dalam kenyataannya, fakta-fakta tidak pernah berbicara bagi dirinya sendiri. Ada begitu banyak fakta, tak terhitung jumlahnya. Fakta-fakta mana yang penting bergantung pada jenis teori yang kita miliki. Pada gilirannya, hal ini bergantung pada ketertarikan Saudara, pada apa yang sedang coba Anda lakukan.

Marx tertarik, pertama dan terutama, pada perubahan sosial. Konsepsi materialisnya tentang sejarah pada hakikatnya merupakan suatu panduan untuk masa kini dalam terang masa lalu. Idea-idea dasariahnya sederhana, kendati penerapan dan perkembangannya seringkali kompleks. Dalam Manifesto Komunis,Marx dan Engels menandaskan:


Sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah dari perjuangan-perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrician dan plebian, baron dan serf, pemilik gilda dan pekerja, dalam satu kata, penindas dan yang-tertindas, yang secara konstan berdiri berhadap-hadapan saling berlawanan, menggelar suatu peperangan yang tak ada putus-putusnya, kadang terbuka, kadang tertutup; suatu peperangan yang selalu bermuara entah dalam transformasi revolusioner atas seluruh masyarakat atau dalam kehancuran bersama dari kelas-kelas yang saling bertempur…

Lagi,

Masyarakat kapitalis modern, yang lahir dari reruntuhan masyarakat feodal, tidak menghapuskan antagonisme-antagonisme kelas. Ia hanya menggantikan kelas-kelas yang lama dengan kelas-kelas yang baru, kondisi-kondisi penindasan yang lama dengan kondisi-kondisi penindasan yang baru, bentuk-bentuk peperangan yang lama dengan bentuk-bentuk peperangan yang baru.

Kelas-kelas, bukan orang-orang hebat, adalah yang terpenting. Tentu saja kelas-kelas terdiri dari individu-individu. Beberapa individu memang lebih penting daripada yang lain. Tapi “Soeharto yang jahat” atau “Bung Karno yang baik”, dari sudut pandang Marxis, penting karena kepentingan-kepentingan kelas yang mereka wakili ketimbang kebajikan-kebajikan atau kejahatan-kejahatan personal mereka.

Hal itu segera mencuatkan poin yang lain. Bila perjuangan antara kelas-kelas merupakan motor yang sesungguhnya dari sejarah, maka “kebaikan” dan “kejahatan” adalah istilah-istilah yang relatif. Apa yang baik bagi satu kelas mungkin jahat bagi kelas yang lain. Revolusi Besar Prancis pada akhir Abad XVIII adalah hal yang baik dari sudut pandang kelas borjuis. Borjuasi adalah orang-orang yang paling diuntungkan oleh revolusi tersebut. Tapi revolusi yang sama merupakan hal yang sangat buruk bagi aristokrasi. Sebab kaum aristokrat kehilangan hak-hak istimewa mereka dan tanah-tanah mereka. Bahkan dalam sejumlah kasus, mereka kehilangan kepala-kepala mereka!

Faktanya, tidak ada sejarah yang tak memihak. Setiap orang adalah bagian dari suatu masyarakat dan dari suatu kelas dalam masyarakat itu. Sejarawan yang mengklaim dirinya tidak memihak adalah suatu tipu-daya. Entah ia sedang menipu dirinya sendiri entah para pembacanya. Apakah ini berarti bahwa pandangan manapun tentang sejarah sama baiknya dengan pandangan-pandangan yang lain? Poinnya adalah bahwa idea-idea tentang masyarakat selalu berhubungan, kadang-kadang secara langsung, kadang-kadang secara tidak langsung, dengan kepentingan suatu kelas atau kepentingan kelas yang lain.

Tapi mengapa kita harus mempercayai bahwa kepentingan-kepentingan kita, katakanlah, secara etis lebih baik daripada kepentingan-kepentingan kelas kapitalis? Sebagian dari jawabannya bisa kita simak dalam kata-kata Marx”, yakni bahwa “gerakan kelas buruh adalah gerakan yang sadar dari mayoritas yang sangat luas seturut dengan kepentingan dari mayoritas yang sangat luas.”

Ada suatu alasan yang lebih mendasar. Jenis masyarakat yang eksis dalam suatu tempat tertentu pada suatu waktu tertentu bergantung pada cara manusia mencari dan beroleh nafkah. 

Kapak-kapak batu dan tombak-tombak kayu dipergunakan oleh suatu masyarakat suku yang berbasiskan perburuan dan tidak mengenal pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Setiap pencapaian teknis berikutnya – bajak kayu, mesin yang digerakkan oleh air, mesin uap – mempunyai konsekuensi-konsekuensi sosial. “Asumsikanlah tahapan-tahapan partikular dari perkembangan produksi, perdagangan, dan konsumsi,” tulis Marx, “dan Saudara akan mendapati suatu pengorganisasian keluarga, tatanan-tatanan, atau kelas-kelas yang sesuai dengan itu; pendeknya, suatu masyarakat sipil yang sesuai dengan itu … kondisi-kondisi politik yang partikular.”

Semua bentuk masyarakat sebelum kapitalisme sama-sama memiliki hal ini. Level teknikal, atau, bila kita menyebutnya dengan cara lain, produktivitas kerja, terlalu rendah untuk memungkinkan tiap-tiap orang menikmati suatu standard hidup yang layak. Eksistensi kelas-kelas yang tertindas dan kelas-kelas yang menindas tidak terelakkan. Kapitalisme telah mengubah semua hal itu. Perkembangan teknik-teknik produksi di bawah kapitalisme telah sedemikian hebat sehingga memungkinkan masyarakat terbebaskan dari perjuangan mati-matian untuk bertahan hidup. Kapitalisme telah memungkinkannya. Tapi, pada saat yang sama kapitalisme telah membangun rintangan-rintangan untuk mencegahnya!


Dalam perjuangan untuk menggulingkan kapitalisme dan membangun tatanan masa depan yang baru, kita tahu bahwa kita tidak sedang berjuang demi kepentingan-kepentingan kita sendiri belaka, atau bahkan demi kepentingan-kepentingan mayoritas luas. Kita sedang berjuang demi satu-satunya jalan masa depan bagi seluruh umat manusia!

Marxisme adalah pedoman untuk memahami realitas dan mengubahnya. Kita butuh teori Marxis sebagai panduan aksi perjuangan.

*** (Bersambung)

Disadur oleh Pandu Jakasurya dari Duncan Hallas (1971), The Meaning of Marximhttps://www.marxists.org/archive/hallas/works/1971/meaning/marxism.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar